Rabu, 18 Februari 2009

Catenacio atau Total Football

Catenaccio atau Total Football

(Memberi Basis Gerakan Bagi HMI UIN)

Oleh:Ihab Habudin

Sepak bola itu magis. Ia mampu menyihir ratusan ribu hingga jutaan pasang mata. “Tarian” para aktor sepak bola di lapangan hijau kerap kali mengundang kekaguman, kegemasan, kecemasan, keyakinan, bahkan kemarahan.

Kini, setelah berakhirnya masa keemasan Pele, Franz Beckenbauer, Johan Cruyff, Michel Platini, Diego Armando Maradona, Jurgen Klisman, Lothar Matthaeus, Rud Gullit, Marco van Basten, Roberto Baggio, dan Zinedine Zidane, muncul talenta-talenta mengangumkan, seperti, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Fernando Torres, Ricardo Kaka, dan Xavi Hernandes. Belum lagi hilang dari ingatan, tarian samba anak-anak Brazil yang diperagakan dengan skill tinggi oleh Romario, Bebeto, Rivaldo, Ronaldo , Robinho dan Ronaldinho. Dan, tidak boleh dilupakan sang kreator bola-bola mati dan selebritis dunia, David Beckham. Di Indonesia, kita mengenal Roni Patinasarani, Ruly Nere, Robby Darwis, Markus Horison, Charis Yulianto, Maman Abdurrahman, Haryono, Firman Utina, Ponaryo Astaman, Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono dan si mutiara hitam Boas Salosa.

Mereka adalah bintang-bintang lapangan hijau yang siap memikat setiap pasang mata yang menontonnya. Di tangan mereka, sepak bola tak hanya sekedar umpan dan mencetak gol, melainkan juga olah bola dan seni.

Tapi ingat, sepak bola bukan hanya permainan individual. Sepak bola adalah permainan kolektif sebuah kesebelasan yang diringi dengan strategi dan aturan untuk fair play. Sepak bola juga membuat setiap tim yang berlaga untuk melakukan konsolidasi, mengontrol emosi dan meningkatkan skill individu pemain-pemainnya, agar strategi yang direncanakan bisa dimaksimalkan.

Karena itu, bagi Sindhunata, sepak bola banyak mengandung pelajaran yang darinya dapat diambil semacam kisah dan refleksi tentang kemanusiaan. Tiga buah bukunya, Bola di Balik Bulan, Air Mata Bola, dan Bola-bola Nasib, adalah kumpulan artikel menarik yang semuanya diinspirasi oleh sepak bola. Bahkan, artikelnya yang berjudul “Catenaccio” Politik Gus Dur (kompas:16/12/2000), membuat Abdurrahman Wahid yang waktu itu masih menjadi Presiden RI terpancing. Abdurrahman Wahid kemudian membalas Sindhunata dengan menulis artikel berjudul “Catenaccio” Hanyalah Alat Berat (kompas: 18/12/2000).

Bila Sindhunata dan Abdurrahman Wahid membawa ungkapan simbolik dalam sepak bola ke panggung politik Indonesia waktu itu, berbeda dengan keduanya, Penulis hendak membawanya ke wilayah yang lebih sempit lagi, yaitu HMI UIN. Seperti sebuah tim sepak bola, menentukan pola gerakan yang efektif dan strategis adalah keniscayaan bagi HMI UIN. Terlebih karena ekses kapitalisme yang makin terasa, liberalisme yang makin mencekam, dan nuansa transendensi yang makin menyusut. Bukan saja masyarakat umum, melainkan juga mahasiswa, yang dianggap memiliki tingkat probabilitas tinggi dalam hal kemajuan, sudah banyak yang terkena ‘virus-virus’ globalisme, modernisme, dan liberalisme.

***

Dalam sepak bola, dikenal ada dua strategi yang biasa dipakai sebuah tim, yaitu: catenaccio dan total football.

Catenaccio adalah gaya sepak bola khas Italia. Ciri utamanya adalah bertahan menggerendel lawan, sambil mencari celah untuk secepat mungkin menyerang dan membobol gawang lawan. Biasanya, tim yang memakai strategi ini akan menumpuk sebagian besar pemainnya di belakang dan membentengi diri dengan pertahanan berlapis. Bagi lawan yang kurang sabar berhadapan dengan strategi ini akan cepat stress, permainannya menjadi kacau dan akhirnya kalah.

Seperti disinggung Sindhunata, catenaccio paling radikal diterapkan oleh Enzo Bearzot di Piala Dunia 1982, dan membawa Italia juara dunia mengalahkan Jerman 3-1 di final. Sampai kini, bagi sebagian klub yang berlaga di Serie A Italia, catenaccio masih jadi pilihan ampuh. Buktinya, di penyisihan grup Liga Champion musim ini, Juventus mampu menggebuk Real Madrid 2-0 di Barnabeau dengan strategi yang sama. Padahal, waktu itu hampir 90 menit Alesandro dkk dikepung setengah lapangan.

Bagi para pengkritiknya, catenaccio tidak menampilkan sepak bola indah, kuno, kaku,tidak kreatif, bahkan cenderung kasar. Karena pemain yang ditumpuk di belakang sebisa mungkin menahan laju bola ke gawangnya. Bagaimanapun caranya. Meskipun harus menebas kaki lawan.

Berbeda dengan catenaccio, gaya bermain total football mengandaikan strategi menyerang. Bagi penganut gaya ini, peluang berada di depan. Karenanya, peluang harus dibuat. Bukan ditunggu. Bagi mereka yang mepraktekan strategi ini secara radikal, meskipun harus bertahan, maka pertahanan yang terbaik adalah dengan menyerang. Karena dengan menyerang, lawan akan bertahan. Sehingga aliran bola ke jantung pertahanan tidak perlu dikhawatirkan.

Strategi ini mengandaikan kreatifitas yang tinggi. Pemain-pemain yang mampu menggiring bola, mengecoh, dan menerobos, menjadi syarat utama. Bagi lawan yang kurang hati-hati menjaga setiap pemain yang memeragakan strategi ini harus siap-siap gawangnya dibanjiri gol. Karena bukan hanya kemenangan yang dicari, tetapi juga bagaimana dapat mencetak gol sebanyak mungkin.

Gaya total football ini dapat kita lihat dari model samba Brazil, permainan menyerang Belanda, dan kick and rush-nya klub- klub liga Inggris. Kesaktian model ini bisa kita saksikan lewat kiprah Barcelona saat ini. Melalui tukang gedornya Lionel Messi, Thiery Henry, Samuel Eto’o, Xavi Hernandes, Iniesta, dan Dani Alves, Barcelona memimpin klasemen la liga. Bahkan sekelas Real Madrid pun dilibasnya 2-0 di New Camp.

***

Catenaccio dan total football adalah istilah sepak bola. Toh, bisa kita terapkan dalam strategi gerakan HMI UIN. Seperti dapat dilihat, meskipun HMI telah memiliki konsep yang lengkap. Mulai dari konsep teologi ketuhanan sampai ketentuan ukuran stempel. Tapi, ketika hendak mengimplementasikan gagasan-gagasannya dan berhadapan dengan situasi tertentu, HMI mau tidak mau harus memilih strategi gerakannya. Strategi yang lebih efektif untuk situasi tertentu.

Lalu, mana yang mau dipilih: catenaccio atau total football?

Bila yang dipilih adalah catenaccio, maka gerakan akan difokuskan ke internal, sambil sekali waktu bergerak ke luar dan melakukan agenda yang diharapkan mampu menyita perhatian publik. Internalisasi ideologi, penguatan skill berorganisasi, konsolidasi internal dan peneguhan komitmen perjuangan menjadi agenda utama, sembari mencari momentum tepat untuk menggebrak dan memunculkan gagasan-gagasan yang diusung ke publik.

Bertahan dan membentengi diri, serta tidak larut permainan alur logika kapitalisme dan semacamnya menjadi tujuan utama. Karena itu, penyakit-penyakit yang bisa merusak intern organisasi, seperti: malas bekerja, egoisme pribadi, individualisme, enggan berkomunikasi, hingga ketimpangan antara kegiatan pribadi dan ‘publik’ HMI, sebisa mungkin diobati. Harapannya, ketika benteng pertahanan kuat, musuh seperti kapitalisme dkk itu dengan sendirinya akan rontok. Saat itulah kesempatan menggebuk lawan terbuka.

Dalam praksisnya, catenaccio HMI mewujud dalam penyadaran dan penggalian potensi kader-kader HMI. Karena itu, diskusi-diskusi, pelatihan-pelatihan umum dan khusus, serta kegitan berorientasi penguatan emosional menjadi prioritas utama. Begitulah catenaccio HMI, konsistensi internalitas dianggap senjata ampuh membuat lawan menjadi bosan, dan musuh menjadi lumpuh.

Meskipun begitu, catenaccio HMI bukan tanpa kelemahan. Seperti halnya catenaccio dalam sepak bola, ia cenderung kaku dan kurang kreatif. Bila diterapkan secara radikal ia akan bersifat selfish dan tidak resphonsible. Maka, bukan hal yang mustahil bila catenaccio HMI tidak diterapkan dengan artikulasi yang tinggi dapat membawa HMI, tidak saja kurang diperhitungkan di kancah publik dan gerakan mahasiswa, melainkan juga di internalnya sendiri.

Pilihan kedua adalah menerapkan total football. Dalam konteks HMI, total football HMI berarti agresif dan kreatif dalam menghadapi semua tantangan yang ada. Apa yang disebut penyesuaian-penyesuaian kreatif oleh Soejatmoko adalah harga mati. Total bertahan dianggap cara kuno. Dalam total football HMI, bukan bertahan yang menyebabkan HMI tegak berdiri, melainkan dengan sebanyak mungkin melakukan maneuver-manuver kreatif.

Mencipta peluang itulah kunci utamanya. Ranah-ranah publik/kemahasiswaan, meski sudah tersusupi virus-virus ‘musuh’ HMI dianggap bukan hanya tantangan melainkan juga kesempatan dan peluang untuk mengibarkan sang dwi warna (baca: bukan merah-putih, tapi hijau-hitam). Konsepsi perjuangan tidak hanya diletakan di alur logika internalitas. Lebih dari itu, konsolidasi, militansi dan kemampuan berorganisasi dianggap terletak pada sejauh mana mencipta, memanfaatkan kesempatan, menggebuk dan mengalahkan lawan.

Untuk itu, dalam total football HMI, bukan menunggu kesempatan, tapi mencipta kesempatan. Karena itu, seperti total football dalam sepak bola, untuk menerapkan strategi total football HMI dibutuhkan kader-kader yang visioner, kreatif, dan berani mengambil resiko. Kita tahu, banyak tim yang memeragakan sepak bola menyerang harus menumbalkan sebagian pemainnya dikasari, ditebas, bahkan dihabisi karirnya oleh bek-bek lawan.

Dalam praksisnya, total football HMI tercermin dari strateginya mencipta peluang dan menyerang. Membangun dan memaksimalkan jaringan, konsolidasi antar gerakan, dan mengadakan berbagai forum dalam upaya membangun opini publik, adalah sebagian upaya yang bisa dilakukan. Bahkan, bila pun ada diskusi internal, dari kacamata total football, ia tidak akan dilihat sebagai cara bertahan. Lebih dari itu, ia adalah sarana menumbuhkan visi, kreativitas dan sisi keberanian untuk mencipta kader-kader progressif. Selebihnya, keberhasilan total football HMI tergantung dari kreativitas kader-kader HMI itu sendiri sehingga mampu mencipta inovasi-inovasi gerakan yang lebih efektif.

Namun, total fooball HMI juga bukan tanpa masalah. Bila diterapkan secara radikal, formasi pertahanan diri internal HMI akan sangat terbuka. Bisa jadi, kondisi yang rentan ini memunculkan sikap-sikap individualisme yang berlebihan. Karena itu, dibutuhkan sebuah sistem yang mampu mendinamisasikannya.

Tapi harus diingat, antara catenaccio dan total football tidaklah konyol. Yang menerapkan catenaccio tidak berarti semua pemainnya menjadi pemain bertahan. Seperti penyerang menjadi pemain bertahan. Begitu pula dengan total football, bukan berarti kiper ikut-ikutan nyerang. Hanya saja, mana yang jadi prioritas, menyerang atau bertahan, itulah bedanya.

Pun, dengan catenaccio atau total football HMI, tidak berarti catenaccio HMI seratus persen tidak resphonsible, dan total football HMI tidak mempedulikan urusan internal (pertahanan). Sekali lagi, mana yang jadi prioritas. Itulah bedanya.

Nah, mana yang mestinya dipilih HMI UIN?

***

Melihat situasi yang semakin kompleks, mau tidak mau HMI harus mencipta peluang. Kini, momentum dan common enemy itu tidak kasat mata muncul. Makanya, ia harus ditelisik, disikapi, dan diartikulasikan sedemikian rupa. Artinya, total football dalam arti visioner, kreatif dan berani mengambil resiko menjadi keharusan.

Dalam konteks kampus UIN misalnya. Kungkungan birokrasi yang sistematis, mahasiswa yang pop-is, serta konteks sosial budaya yang semakin kompleks, mengharuskan langkah-langkah kreatif bagi semua gerakan mahasiswa untuk merubahnya, termasuk HMI. Bila masih mengandalkan formalisme kegiatan yang bergerak statis atau mungkin mundur (baca: tradisi-tradisi intelektual semakin menghilang), siap-siap saja gerakan mahasiswa ‘ditelan masa’.

Ihab Habudin, anggota HMI Komisariat Syari’ah UIN Su-Ka Yogyakarta,

Kalau ada kritik/saran silahkan balas artikel ini atau kirim sms ke:081227745969.